Rasyid tampak malu-malu bersembunyi di balik tubuh ibunya, Ella Nurlaila. Namun rasa malu itu tak bertahan lama: ia segera berlari kecil dengan riang, ceria memanggil “Mama” sambil berceloteh penuh tawa dan keceriaan.
Sekarang tinggi badannya bertambah, tubuhnya tampak lebih bugar, dan senyum cerianya seolah menjadi hadiah berharga bagi sang ibu. Lebih menggembirakan lagi, kini Rasyid sudah mulai aktif berbicara.
Meskipun kosakata yang keluar dari bibir mungilnya belum sejelas anak-anak seumurnya, perkembangan ini membuat Ella tak henti-hentinya bersyukur.
Dengan penuh kebahagiaan, Ella bercerita bahwa Rasyid mulai tertarik untuk bersekolah. Setiap hari, ia mencoba belajar menulis dengan pensil dan kertas sederhana. Namun, perjuangan itu tidaklah mudah.
Kulit di ruas-ruas jarinya yang masih menempel membuat gerakan tangannya terbatas, sehingga ia kesulitan menggenggam pensil dengan baik. Meski begitu, semangatnya tak pernah padam.
Di tengah kesibukan mendampingi Rasyid, Ella juga berusaha keras mencari nafkah. Ia tak lagi bekerja sebagai buruh cuci seperti dulu. Kini, dengan tekad kuat, Ella bersama anak perempuannya yang tinggal di sebelah rumah mencoba membuka usaha kecil-kecilan.
Dari warung sederhana, mereka menjajakan aneka jajanan seperti roti goreng, piscok, hingga bakso mercon. Usaha ini menjadi tumpuan barunya untuk bisa menyekolahkan Rasyid dan memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Namun, harapan Ella tidak berhenti di situ. Ia masih menyimpan impian besar agar suatu hari nanti Rasyid bisa kembali menjalani operasi pemisahan jari-jari tangannya. Sebab, seiring berjalannya waktu, jari-jari yang sempat dioperasi kini kembali menempel, bahkan jari-jari kakinya pun rentan mengalami infeksi. Ella yakin, bila rezeki dan kesempatan datang, langkah Rasyid untuk menjalani kehidupan yang lebih normal akan semakin terbuka lebar.